PADANG — Di tengah hujan yang tak kompromistis dan jalur distribusi yang rapuh, kehadiran Wakil Menteri ESDM Yuliot di Sumatra Barat memuat pesan yang lebih besar daripada sekadar inspeksi energi. Ia adalah mewakili pernyataan negara bahwa tidak boleh hadir hanya lewat grafik cadangan dan laporan meja rapat saja tapi turun langsung ke lapangan.
Ketika bencana hidrometeorologi menjelma ancaman rutin, energi bukan lagi isu teknokratis, melainkan urusan keadilan sosial. Listrik yang padam dan BBM yang tertahan berjam-jam di Sitinjau Lauik bukan sekadar soal logistik, tapi soal siapa yang paling dulu merasakan dampak kelumpuhan negara—biasanya masyarakat di daerah perbukitan dan pinggiran.
Langkah Yuliot menempuh jalur darat dari Tapanuli hingga pesisir Padang mematahkan tradisi lama birokrasi krisis: menunggu laporan sambil berharap cuaca membaik. Ia memilih melihat sendiri bagaimana longsor mengubah jalan menjadi bottleneck energi, dan bagaimana antrean BBM menjadi indikator paling jujur dari keberfungsian negara.
Namun, inspeksi lapangan saja tidak cukup bila hanya berhenti sebagai simbol. Kenaikan cadangan BBM dari sembilan menjadi 13 hari—bahkan 35 hari untuk jenis tertentu—memang penting, tetapi itu juga pengakuan tak langsung bahwa sistem distribusi kita masih terlalu bergantung pada jalur rawan bencana. Sitinjau Lauik kembali membuktikan dirinya sebagai titik lemah klasik yang terus diwariskan dari satu musim hujan ke musim berikutnya.
Skema suplai silang antarwilayah, dari Teluk Kabung ke Sibolga dan sebaliknya dari Dumai ke Sumbar, menunjukkan fleksibilitas kebijakan energi nasional. Tetapi fleksibilitas ini sejatinya adalah strategi bertahan, bukan solusi jangka panjang. Ia efektif dalam krisis, namun tidak boleh menjadi normal baru yang meninabobokan urgensi pembenahan infrastruktur dasar.
Respons cepat PLN memulihkan ratusan ribu pelanggan patut diapresiasi. Tetapi fakta bahwa longsor di satu kecamatan bisa memadamkan listrik puluhan ribu rumah kembali menegaskan satu ironi: kita cepat memperbaiki, tapi lambat mencegah.
Kehadiran Wamen ESDM di lapangan memberi harapan bahwa negara masih mau berkeringat bersama rakyatnya. Tantangannya kini jelas: apakah keberanian turun ke medan berat ini akan diikuti keberanian mengambil keputusan strategis—membenahi jalur distribusi, mengintegrasikan mitigasi bencana dalam perencanaan energi, dan tidak lagi menganggap wilayah rawan sebagai “risiko yang bisa dimaklumi”.
Karena pada akhirnya, energi bukan hanya soal pasokan yang aman, tetapi tentang rasa aman warga bahwa negara benar-benar ada, bahkan—dan terutama—saat hujan belum berhenti turun.
Perjalanan ini bukan perjalanan dinas biasa. Dari perbukitan Tapanuli Utara, Yuliot menyusuri jalur darat yang terdampak cuaca ekstrem melewati Padang Sidempuan, Batang Toru, hingga Panyabungan wilayah yang dalam beberapa pekan terakhir masih bergulat dengan banjir, longsor, dan gangguan infrastruktur. Dari Sumatra Utara, rombongan melanjutkan pemantauan ke Pasaman Barat, Pasaman, Agam, Padang Pariaman, hingga akhirnya tiba di Kota Padang, Rabu (24/12).
Di setiap titik yang disinggahi, perhatian Yuliot tak tertuju pada laporan administratif semata. Ia memastikan langsung denyut kehidupan masyarakat tetap berjalan mulai dari ketersediaan BBM di SPBU, LPG di pangkalan, hingga listrik yang menyala di rumah-rumah warga.
“Dari Pasaman Barat, Pasaman, Agam, dan juga tadi melintas di Padang Pariaman, dan pada sore hari tiba di Kota Padang. Untuk ketersediaan BBM, yang saya lihat di SPBU berdasarkan pengecekan, alhamdulillah sudah tidak ada antrean yang cukup signifikan, hanya beberapa kendaraan saja,” ujar Yuliot saat ditemui di PT PLN Unit Induk Distribusi (UID) Sumbar, Kota Padang.
Pasokan BBM di Sumatra Barat dinyatakan dalam kondisi normal dan terkendali. Namun, alam masih menyisakan tantangan serius. Hujan masih turun. Jalur Sitinjau Lauik, yang menjadi urat nadi distribusi BBM ke sejumlah daerah strategis, kerap mengalami kemacetan panjang akibat cuaca buruk itu dan kondisi geografis jalan berkelok dan terjal.
Keterlambatan pengiriman BBM di jalur ini bisa mencapai enam hingga delapan jam, yang berdampak langsung pada daerah seperti Bukittinggi, Batu Sangkar, Payakumbuh, Kabupaten Agam, dan wilayah sekitarnya.
Antisipasi dan sebagai langkah mitigasi, pemerintah pusat bersama PT Pertamina meningkatkan cadangan BBM di Sumatra Barat secara signifikan. Dari rata-rata sembilan hari, kini dinaikkan menjadi 13 hari. Bahkan, untuk jenis BBM tertentu seperti Pertamax Turbo, cadangan ditingkatkan hingga 35 hari. Langkah ini diambil untuk memastikan masyarakat tidak terdampak langsung apabila terjadi gangguan distribusi akibat longsor, banjir, atau cuaca ekstrem lainnya.
Perhatian serius juga diberikan pada pasokan LPG, yang menjadi kebutuhan utama rumah tangga. Yuliot meminta Pertamina memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah dan Kepolisian RI, agar distribusi LPG dan BBM mendapat pengawalan khusus dan dapat tiba tepat waktu ke wilayah-wilayah rawan.
Dalam menjaga stabilitas pasokan energi, pemerintah juga menerapkan skema suplai silang antarwilayah. Strategi ini memungkinkan distribusi energi tetap berjalan meski jalur tertentu terganggu. “Integrated Terminal (IT) Teluk Kabung di Sumatra Barat justru melayani beberapa wilayah di Sumatra Utara, seperti Sibolga dan Tapanuli. Sementara untuk beberapa daerah di Sumatra Barat, pasokannya disuplai dari IT Dumai,” terang Yuliot.
Skema ini diharapkan bisa menjadi kunci penting dalam menjaga fleksibilitas distribusi energi di tengah kondisi geografis dan cuaca yang menantang.
Dari sisi kelistrikan, laporan per 23 Desember menunjukkan kondisi pasokan listrik di Sumatra Barat secara umum normal. Namun, hujan deras yang terus mengguyur memicu longsor di beberapa titik, khususnya di Kecamatan Palembayan, yang sempat menyebabkan gangguan jaringan listrik.
Dari total 274.564 pelanggan yang terdampak, sebanyak 274.419 pelanggan telah berhasil dipulihkan. Saat ini, hanya tersisa dua gardu padam dari total 2.361 gardu, dengan 145 pelanggan yang masih belum tersambung listrik. Untuk memastikan warga tetap mendapat penerangan, PT PLN (Persero) telah menyalurkan genset dan lampu darurat ke wilayah yang masih terdampak.
Meski di tengah hujan yang tak bersahabat, medan berat, dan ancaman bencana yang belum sepenuhnya usai, pemerintah menegaskan komitmennya: energi harus tetap hadir di tengah masyarakat Sumbar. Bukan hanya sebagai penopang aktivitas ekonomi, tetapi juga sebagai sumber kenyamanan dan kehangatan. (Mond/DO)*
Baca Juga
https://www.potretkita.net/2025/12/r3p-13-kabupatenkota-di-sumatra-barat.html


.gif)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar