Tolak UMP 2026 Rp 5,73 Juta, Buruh Ancam Kepung Istana Negara - PotretKita Online

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Jumat, 26 Desember 2025

Tolak UMP 2026 Rp 5,73 Juta, Buruh Ancam Kepung Istana Negara


JAKARTA — Di penghujung tahun 2025 ini gelombang protes buruh kembali menguat. Aksi demonstrasi besar-besaran menolak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2026 yang ditetapkan sebesar Rp 5,73 juta per bulan digelar Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Dua lokasi kekuasaan negara, yakni Istana Kepresidenan Jakarta dan Balai Kota DKI Jakarta, dipastikan menjadi sasaran aksi.


Said Iqbal, Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh menegaskan bahwa aksi turun ke jalan merupakan bentuk kekecewaan buruh terhadap kebijakan pengupahan yang dinilai tidak mencerminkan realitas biaya hidup di Ibu Kota.


“Rencana gerakan akan ada aksi. Aksinya ada dua, ke Istana Presiden di Jakarta dan ke Balai Kota,” ujar Said Iqbal dalam konferensi pers daring, Rabu (24/12/2025) lalu.


Menurut Said Iqbal, aksi demonstrasi direncanakan berlangsung paling cepat pada 29 Desember 2025 ketika aktivitas perkantoran telah kembali normal pascalibur Natal. Alternatif lainnya, aksi akan digelar pada pekan pertama Januari 2026, dengan melibatkan ribuan buruh dari berbagai sektor di Jakarta.


“Kalau belum memungkinkan 29 Desember, maka di awal Januari. Minggu pertama Januari ribuan buruh Jakarta akan turun ke jalan, beraksi di Istana Negara dan Balai Kota DKI Jakarta, menolak kenaikan upah minimum,” tegasnya.


KSPI menegaskan, aksi massa ini akan berjalan beriringan dengan langkah hukum, yakni mengajukan gugatan ke pengadilan atas penetapan UMP DKI Jakarta 2026.


UMP Dinilai Tak Sesuai Kebutuhan Hidup Layak di Ibu Kota

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebelumnya resmi menetapkan UMP 2026 sebesar Rp 5,73 juta per bulan, naik dibanding tahun sebelumnya. Namun, angka tersebut langsung menuai penolakan keras dari kalangan buruh.


Said Iqbal menyebut, penetapan tersebut lebih rendah dari kebutuhan hidup layak (KHL) yang telah dihitung oleh aliansi serikat pekerja.


“Perhitungan KHL DKI Jakarta itu sekitar Rp 5,89 juta per bulan. Artinya, ada selisih sekitar Rp 160 ribu dari yang kami minta dan yang ditetapkan Gubernur,” ungkapnya.


Menurutnya, selisih tersebut bukan angka kecil bagi buruh, terutama di tengah tingginya biaya sewa rumah, transportasi, pendidikan, hingga kebutuhan pangan di Jakarta.


Penolakan buruh terhadap UMP DKI Jakarta 2026 sebesar Rp 5,73 juta bukan sekadar soal selisih angka. Ia adalah akumulasi kekecewaan struktural yang setiap tahun ditunda, dirapikan dengan formula, lalu diserahkan kembali ke buruh untuk diterima dengan sabar. Ketika ribuan buruh bersiap mengepung Istana Negara dan Balai Kota, yang sedang kita saksikan bukan drama jalanan, melainkan konsekuensi logis dari kebijakan yang gagal membaca realitas hidup.


Jakarta adalah kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia. Sewa rumah, transportasi, pendidikan, dan pangan terus melonjak tanpa ampun. Namun, upah minimum justru diperlakukan seperti angka teknokratis yang bisa disesuaikan dengan indeks, rumus, dan kompromi politik. Di titik inilah negara tampak canggung: cepat menghitung, lambat memahami.


Selisih Rp 160 ribu antara UMP yang ditetapkan dan kebutuhan hidup layak versi buruh mungkin terlihat kecil di meja birokrasi. Tetapi bagi buruh, angka itu adalah ongkos transportasi sebulan, tambahan lauk, atau biaya sekolah anak. Ketika negara gagal membaca makna sosial dari angka, kebijakan pengupahan berubah menjadi abstraksi dingin yang memutus empati.


Penolakan terhadap indeks 0,75 dalam formula upah menunjukkan satu hal penting: buruh tidak lagi sekadar menuntut kenaikan, tetapi mempertanyakan kerangka berpikir kebijakan itu sendiri. Formula yang menekan kenaikan upah di kota paling mahal di negeri ini terasa seperti pesan implisit: stabilitas ekonomi lebih penting daripada keberlangsungan hidup pekerja.


Ironisnya, Jakarta—ibu kota ekonomi nasional—justru menetapkan upah minimum yang lebih rendah dari Bekasi dan Karawang. Ini bukan hanya paradoks, tapi tamparan simbolik. Jika pusat kekayaan nasional tidak mampu menjamin upah layak bagi pekerjanya sendiri, maka wacana “pertumbuhan” kehilangan makna sosialnya.


Pemerintah mencoba meredam dengan wacana insentif. Namun bagi buruh, insentif adalah tambalan, bukan solusi. Insentif bisa habis, bisa tidak merata, dan bisa hilang saat anggaran berubah. Upah adalah hak dasar; insentif adalah kebijakan tambahan. Menukar upah layak dengan insentif sama saja dengan mengganti fondasi rumah dengan cat baru.


Aksi mengepung Istana dan Balai Kota menandai eskalasi penting: buruh tidak lagi melihat masalah upah sebagai urusan gubernur semata, tetapi tanggung jawab negara secara keseluruhan. Ketika kebijakan pusat dan daerah bertemu di titik yang sama—menekan upah demi stabilitas—jalanan menjadi ruang dialog terakhir.


Konflik pengupahan awal 2026 ini seharusnya menjadi alarm keras. Bukan karena ancaman demonstrasi, tetapi karena ada jurang yang semakin lebar antara narasi pembangunan dan kenyataan hidup pekerja. Selama kebijakan upah masih diproduksi dari meja rapat tanpa keberanian menyesuaikan diri dengan biaya hidup nyata, konflik hanya akan berganti tanggal.


Buruh tidak sedang meminta kemewahan. Mereka menuntut kelayakan. Ketika kelayakan terus dianggap beban, bukan kewajiban, maka demonstrasi bukan pilihan—melainkan keniscayaan. (do/yu)*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here