TANAH DATAR — Batu Taba kecamatan Batipuh Selatan menjadi salah satu nagari terdampak bencana alam banjir, banjir bandang, tanah longsor, dan angin kencang yang terjadi pada minggu terakhir November 2025 lalu. Pemerintah Nagari Batu Taba mengambil langkah pencegahan (preventif) atas kemungkinan penyebaran penyakit menular dengan cara melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada para kader Posyandu, kader KB, ulama, dan tokoh masyarakat serta Bundo Kanduang kenagarian Batu Taba.
Sosialisasi dan penyuluhan tersebut dilaksanakan di ruang pertemuan Kantor Nagari Batu Taba pada Selasa pagi, 23 Desember 2025 yang turut dihadiri oleh Sekretaris Kecamatan Batipuh Selatan, Bhabinkamtibmas dari Polsek Batipuh Selatan dan Ketua KAN serta Ketua BPRN Batu Taba.
Disampaikan oleh Wali Nagari Batu Taba, Destriyanto, S.Sos, NL.P, bahwa sosialisasi dan penyuluhan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan SDM dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit menular.
Sosialisasi Kesehatan dan Ujian Keseriusan Negara di Nagari
Langkah Wali Nagari Batu Taba menggelar sosialisasi dan penyuluhan pencegahan penyakit menular itu tentu patut dicatat sebagai respon awal yang tepat di tengah situasi pascabencana. Ketika banjir, longsor, dan angin kencang menghantam, ancaman berikutnya memang bukan lagi air dan lumpur, melainkan penyakit—diam-diam, mematikan, dan sering luput dari sorotan.
Namun, sosialisasi tentu bukanlah solusi akhir, melainkan pintu masuk. Negara—bahkan pada level nagari—kerap terlalu percaya bahwa peningkatan pengetahuan otomatis berbanding lurus dengan perubahan kondisi kesehatan. Padahal, warga yang hidup di lingkungan rusak, air tercemar, dan sanitasi darurat, jatuh sakit bukan karena kurang informasi, melainkan karena kurang fasilitas dan perlindungan nyata.
Pelibatan kader Posyandu, KB, ulama, tokoh adat, dan Bundo Kanduang adalah langkah strategis. Mereka adalah simpul sosial yang dipercaya masyarakat. Tetapi peran “duta kesehatan” akan lumpuh bila tidak dibarengi dukungan konkret: akses air bersih yang berkelanjutan, layanan kesehatan yang siaga, obat-obatan yang cukup, dan sistem pemantauan penyakit yang berjalan aktif hingga ke jorong-jorong.
Bahaya terbesar pascabencana sering kali bukan wabah besar yang dramatis, melainkan penyakit harian yang diabaikan: diare, ISPA, penyakit kulit, dan demam yang dianggap biasa hingga akhirnya menumpuk menjadi krisis. Jika negara hanya hadir lewat spanduk, penyuluhan, dan dokumentasi acara, maka tanggung jawab kesehatan justru kembali dibebankan kepada warga yang sudah lelah bertahan.
Pernyataan Wali Nagari tentang peningkatan SDM patut dihargai. Namun SDM tanpa sarana dan kebijakan pendukung berisiko menjadi tameng moral bagi kelalaian struktural. Warga tidak bisa diminta menjaga kesehatan bila tempat tinggal mereka masih lembap, sumur tercemar, dan akses ke puskesmas terbatas karena sedang bencana.
Bencana seharusnya menjadi alarm untuk memperkuat sistem, bukan sekadar memperbanyak acara. Jika sosialisasi ini menjadi bagian dari gerak lanjutan—dengan anggaran yang jelas, pendampingan rutin, dan kolaborasi lintas sektor—maka Batu Taba sedang melangkah ke arah yang benar. Tapi jika berhenti sebagai agenda seremonial, ia hanya akan menjadi catatan baik di laporan, tanpa dampak nyata di tubuh warga.
Kesehatan pascabencana bukan soal seberapa sering warga diingatkan, melainkan seberapa serius negara memastikan mereka bisa hidup sehat. Dan keseriusan itu hanya bisa dibuktikan lewat tindakan yang konsisten, berkelanjutan, dan berpihak pada mereka yang paling rentan. (M.Intania/Red.JM)*
Baca Juga
https://www.potretkita.net/2025/12/dony-oskaria-pastikan-percepatan.html

.jpg)
.gif)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar