AGAM, Sumatera Barat — Gempa magnitudo 4,7 di Pasaman dan Agam disebut “menengah” oleh ilmu sains. Namun bagi warga Palembayan, ia terasa seperti peringatan keras. Bukan bumi yang rapuh, melainkan sistem kesiapsiagaan kita yang rapuh. Getarannya singkat, tetapi retakan yang ditinggalkan—di rumah, di rasa aman, dan di kesadaran kolektif—jauh lebih dalam.
Fakta bahwa puluhan rumah rusak berat oleh gempa dengan magnitudo di bawah lima seharusnya membuat kita berhenti menyalahkan alam. Ini bukan soal kekuatan gempa semata, melainkan kerapuhan bangunan dan ketidaksiapan struktural yang telah lama dibiarkan. Pilar retak, dinding terbelah, plafon runtuh—semuanya menunjuk pada satu masalah klasik: standar ketahanan bangunan untuk gempa yang tak pernah benar-benar menjadi prioritas kita karena dana terbatas.
Ironinya, bahkan posko kemanusiaan—ruang yang seharusnya menjadi simbol kesiapsiagaan—ikut mengalami kerusakan. Di titik itu, bencana menjadi cermin bahwa kita gemar berbicara soal mitigasi, tapi lalai menerapkannya pada bangunan paling strategis sekalipun. Jika posko saja rapuh, kepada siapa warga harus berlindung lagi?
Trauma warga yang memilih mengungsi menunjukkan luka yang tak tercatat dalam tabel kerusakan. Gempa memang tidak merenggut nyawa kali ini, tetapi ia merenggut rasa aman. Di daerah rawan seperti Sumatera Barat, rasa aman adalah kebutuhan dasar yang sering diabaikan dalam perencanaan pembangunan.
Setiap kali gempa terjadi, narasi yang sama diulang lagi imbauan waspada, pendataan kerusakan, dan pengingat bahwa wilayah ini rawan bencana. Tetapi setelah itu apa? Apakah rumah-rumah diperkuat? Apakah standar bangunan diawasi? Atau kita kembali menunggu getaran berikutnya sebagai alarm yang selalu datang terlambat?
Gempa Pasaman–Agam ini seharusnya dibaca sebagai peringatan dini, bukan sekadar peristiwa. Bahwa mitigasi bukan spanduk sosialisasi, melainkan beton yang benar, struktur yang patuh standar, dan kebijakan yang tidak kompromi terhadap keselamatan warga. Bahwa kesiapsiagaan bukan reaksi setelah tanah berguncang, melainkan keputusan jauh sebelum itu.
Bumi akan terus bergerak—itu kodrat geologi. Yang menjadi pilihan adalah apakah kita terus membiarkan rumah dan sistem sosial kita ikut rapuh, atau mulai membangun ketahanan sebelum retakan berikutnya datang.
Karena jika gempa 4,7 saja sudah merusak puluhan rumah dan mengguncang rasa aman warga, maka masalah terbesar kita bukan pada sesar di perut bumi, melainkan pada sesar kebijakan di atasnya.
Gempa bumi tektonik berkekuatan magnitudo 4,7 yang mengguncang wilayah Kabupaten Agam dan sekitarnya, Minggu (28/12/2025) lalu berkategori gempa menengah, guncangan dangkal yang dipicu aktivitas Sesar Kajai–Talamau ini menimbulkan kerusakan serius pada puluhan rumah warga, terutama di Kecamatan Palembayan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat episentrum gempa berada di darat, dengan kedalaman 10 kilometer, sekitar 19 kilometer barat daya Bonjol, Kabupaten Pasaman. Kedalaman yang relatif dangkal menyebabkan getaran dirasakan cukup kuat dan merata di berbagai wilayah Sumatera Barat.
Data sementara yang dihimpun oleh Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Kecamatan Palembayan menunjukkan sedikitnya 10 rumah mengalami rusak berat, sementara 15 rumah lainnya terdampak dengan tingkat kerusakan sedang hingga ringan. Kerusakan dominan terlihat pada struktur utama bangunan, seperti pilar yang retak, dinding bata terbelah, hingga plafon rumah yang runtuh sebagian.
Salah satu wilayah yang mengalami dampak terparah adalah Jorong Koto Alam. Ironisnya, posko kemanusiaan MDMC Muhammadiyah yang selama ini menjadi pusat koordinasi kebencanaan juga dilaporkan mengalami kerusakan struktural pula akibat guncangan gempa ini.
“Beberapa bangunan tidak lagi aman untuk ditempati. Pilar retak dan dinding terbelah cukup membahayakan jika terjadi gempa susulan,” ujar salah seorang relawan MDMC di lokasi kejadian.
Guncangan gempa tidak hanya dirasakan di Palembayan, tetapi juga menjalar ke wilayah lain seperti Kabupaten Pasaman Barat, Bukittinggi, Agam bagian timur, Padang Panjang, hingga Payakumbuh. Sejumlah warga mengaku panik dan berhamburan keluar rumah saat gempa terjadi, terutama mereka yang berada di bangunan bertingkat.
BMKG juga mengonfirmasi bahwa satu kali gempa susulan (aftershock) telah tercatat pascagempa utama. Kondisi ini menambah kekhawatiran warga, mengingat banyak bangunan yang sudah mengalami keretakan dan berpotensi roboh jika diguncang kembali.
Petugas mengimbau masyarakat agar tidak memaksakan diri tinggal di bangunan yang retak atau rusak, serta tetap waspada terhadap kemungkinan gempa susulan. Warga juga diminta mengikuti arahan resmi dari BMKG dan pihak berwenang demi keselamatan bersama.
Gempa ini kembali mengingatkan bahwa wilayah Sumatera Barat berada di zona rawan aktivitas tektonik, sehingga kesiapsiagaan dan ketahanan bangunan menjadi faktor krusial dalam meminimalkan risiko bencana.
Masalah rusaknya puluhan rumah akibat gempa bermagnitudo di bawah lima menunjukkan bahwa persoalannya bukan semata pada kekuatan alam, melainkan pada kualitas bangunan yang rapuh dan minim standar ketahanan gempa. Banyak bangunan didirikan tanpa perhitungan struktur yang memadai, dengan sambungan kolom, balok, dan pondasi yang lemah. Ketika gempa kecil saja sudah menimbulkan kerusakan besar, itu menandakan kegagalan mitigasi yang telah berlangsung lama.
Solusi pertama yang paling realistis adalah memprioritaskan bangunan strategis seperti posko bencana, sekolah, puskesmas, dan kantor desa. Bangunan-bangunan ini seharusnya menjadi contoh penerapan standar tahan gempa, meski dengan desain sederhana. Ironisnya, ketika posko kemanusiaan ikut rusak, kepercayaan publik terhadap sistem kesiapsiagaan pun runtuh.
Kedua, penerapan standar bangunan tahan gempa tidak selalu membutuhkan biaya besar, melainkan ketepatan teknik. Penggunaan tulangan besi yang cukup, sambungan struktur yang menyatu, serta pengikatan dinding yang benar jauh lebih penting daripada estetika bangunan. Banyak kerusakan terjadi karena penghematan dilakukan pada struktur utama, bukan pada bagian non-esensial.
Ketiga, peningkatan kapasitas tukang dan pengawasan konstruksi menjadi kunci. Tukang lokal perlu dibekali pemahaman dasar bangunan tahan gempa yang praktis dan aplikatif, sementara pengawasan tidak boleh sekadar formalitas. Tanpa kontrol yang serius, standar hanya akan menjadi tulisan di atas kertas.
Terakhir, cara kita memaknai bencana perlu diubah. Gempa bumi adalah fenomena alam, tetapi kerusakan dan korban adalah hasil dari keputusan manusia. Selama narasi masih menyalahkan alam, kegagalan mitigasi akan terus berulang. Gempa kecil seharusnya menjadi peringatan, bukan tragedi. Bangun rumah sesuai standardisasi alam berupa gempa.(Mond/Do)


.gif)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar