NU dan Muhammadiyah: Dua Sayap Peradaban Islam Indonesia - PotretKita Online

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Sabtu, 20 Desember 2025

NU dan Muhammadiyah: Dua Sayap Peradaban Islam Indonesia



Oleh Dr. Kasmui
Majelis Tabligh Pimpinan Daerah (PDM) Kota Semarang

SEMARANG–Di tengah hiruk-pikuk percakapan media sosial, perdebatan mengenai Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah kerap terjebak pada isu-isu permukaan yang bersifat ritualistik. Kita terlalu sibuk memperdebatkan jumlah rakaat Tarawih atau polemik doa Qunut, seolah itulah inti perbedaan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Padahal, perbedaan tersebut hanyalah puncak gunung es dari kekayaan intelektual dan strategi dakwah Islam.


Jika kita mau menengok lebih dalam, NU dan Muhammadiyah sejatinya sedang mengembangkan dua pendekatan dakwah yang berbeda namun saling melengkapi sebagai respons cerdas terhadap tantangan zaman. Memahami relasi keduanya bukan hanya mampu meluruhkan fanatisme sempit, tetapi juga menyadarkan kita bahwa stabilitas keislaman dan kebangsaan Indonesia justru dijaga oleh dialektika dua arus besar ini.

Persahabatan Dua Pendiri, Bukan Pertentangan Akidah

Fakta paling mendasar yang sering dilupakan adalah akar persahabatan antara para pendiri NU dan Muhammadiyah. Jauh sebelum kedua organisasi berdiri, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan adalah sahabat dekat. Keduanya pernah menjadi teman satu kamar ketika belajar kepada Kiai Sholeh Darat di Semarang, lalu kembali dipertemukan di Mekkah saat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.


Sejarah mencatat keakraban mereka melalui panggilan “Mas” dan “Adi”, sebuah simbol relasi yang setara dan penuh kehangatan. Fakta ini menegaskan bahwa perbedaan jalan dakwah yang kemudian mereka tempuh tidak lahir dari konflik teologis, melainkan dari visi yang sama tentang Islam, yang diwujudkan melalui strategi yang berbeda.


Dua Respons Jenius terhadap Tantangan Zaman

Perbedaan tersebut berakar pada konteks sosial-historis yang dihadapi masing-masing organisasi. Muhammadiyah yang lahir pada tahun 1912 hadir untuk menghadapi “musuh dari dalam”, berupa kebekuan berpikir, kemiskinan struktural, dan maraknya praktik TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat). Karena itu, DNA gerakan Muhammadiyah adalah tajdid—pembaruan pemikiran, rasionalisasi ajaran agama, serta modernisasi pendidikan dan pelayanan sosial.


Sebaliknya, Nahdlatul Ulama yang berdiri pada tahun 1926 muncul sebagai respons terhadap “ancaman dari luar”, terutama dominasi Wahabi di Tanah Suci yang mengancam tradisi bermazhab dan keberlanjutan warisan keilmuan klasik. Maka, NU mengambil peran sebagai penjaga tradisi (muhafadzah), memastikan bahwa Islam tetap membumi, berakar pada budaya lokal, dan tersambung dengan mata rantai ulama klasik.


Manhaj Berbeda, Tujuan yang Sama

Perbedaan misi sejarah ini tercermin jelas dalam metode pengambilan hukum Islam. Melalui forum Bahtsul Masail, NU bekerja dengan pendekatan bayani yang kuat, merujuk pada otoritas kitab kuning. Metode ilhaqi digunakan untuk menyamakan persoalan kontemporer dengan kasus-kasus yang telah dibahas dalam literatur klasik.


Namun NU tidak berhenti pada teks semata. Pendekatan irfani—yang menekankan etika, rasa, dan harmoni sosial—menjadi penyeimbang. Produk hukum NU tidak boleh kering dari empati sosial dan harus menjaga kesejukan umat.


Sementara itu, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengawinkan teks wahyu (bayani) dengan rasionalitas ilmiah (burhani). Ketika sebuah pendapat klasik dianggap tidak lagi sejalan dengan fakta empiris—baik medis, astronomis, maupun sosial—Muhammadiyah lebih berani melakukan reinterpretasi demi kemaslahatan umat di masa depan.


Dari Praktik Ibadah hingga Budaya Lokal

Perbedaan metodologi ini berimplikasi langsung pada praktik ibadah. NU menganjurkan qunut Subuh secara rutin dan menjalankan 20 rakaat Tarawih karena berpijak pada otoritas mazhab klasik. Muhammadiyah, melalui pendekatan tarjih, memilih tidak merutinkan qunut dan melaksanakan 11 rakaat Tarawih berdasarkan hadis yang dinilai lebih kuat.


Sikap terhadap budaya lokal pun berbeda. NU sangat akomodatif dan menjadikan budaya sebagai media dakwah—sebuah pendekatan yang kini dikenal sebagai Islam Nusantara. Muhammadiyah, sebaliknya, bersikap purifikatif dengan memisahkan ajaran agama dari unsur budaya yang dinilai tidak memiliki dasar dalil yang kuat.


Paradoks Rokok dan Muara Kebangsaan

Paradoks menarik terlihat dalam sikap terhadap rokok. Muhammadiyah, dengan pendekatan sains medis modern, mengharamkan rokok secara mutlak. NU tetap mempertahankan status makruh dengan mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi terhadap jutaan petani tembakau dan buruh rokok. Perbedaan ini menunjukkan bahwa fikih bukan hanya soal teks, tetapi juga soal keberpihakan sosial.


Meski sering menempuh jalan berbeda, NU dan Muhammadiyah bertemu pada satu muara yang sama: komitmen menjaga NKRI. NU merumuskannya melalui doktrin Hubbul Wathan Minal Iman, sementara Muhammadiyah menegaskannya dalam konsep Darul Ahdi wa Syahadah. Keduanya telah menerima Pancasila sebagai bentuk negara yang sah dan final bagi umat Islam Indonesia.


Dua Sayap Garuda

Sejarah panjang dari satu kamar di Semarang hingga menjelma menjadi dua organisasi raksasa bukanlah kebetulan, melainkan berkah. Perbedaan metodologi antara NU dan Muhammadiyah bukanlah sumber perpecahan, melainkan kepakan dua sayap Garuda. Keduanya harus terus bergerak bersama—saling mengoreksi, saling melengkapi—demi masa depan Indonesia yang beradab, religius, dan berkeadilan. (Dr. Kasmui)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here