Akhir Polemik Bantuan 30 Ton Beras dari UEA dan Pelajaran Tata Kelola Bantuan Kemanusiaan - PotretKita Online

Breaking

Home Top Ad

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Sabtu, 20 Desember 2025

Akhir Polemik Bantuan 30 Ton Beras dari UEA dan Pelajaran Tata Kelola Bantuan Kemanusiaan


Polemik Bantuan 30 Ton Beras dari UEA dan Pelajaran Tata Kelola Bantuan Kemanusiaan

MEDAN–Bencana banjir yang melanda Kota Medan menjadi ujian bukan hanya bagi ketangguhan masyarakat, tetapi juga bagi tata kelola pemerintahan dalam menangani bantuan kemanusiaan. Salah satu peristiwa yang menyita perhatian publik saat ini adalah polemik bantuan beras sebanyak 30 ton dari Uni Emirat Arab (UEA) yang sempat disebut akan dikembalikan, namun pada akhirnya kemudian dipastikan tetap disalurkan kepada korban banjir melalui Persyarikatan Muhammadiyah.


Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution pun menegaskan bahwa bantuan tersebut tidak berasal dari skema kerja sama antarnegara atau government to government (G2G), melainkan dari organisasi nonpemerintah (NGO) di UEA. Karena itu, bantuan tersebut secara regulasi tidak harus melalui pemerintah pusat dalam penyalurannya, melainkan dapat disalurkan melalui NGO di Indonesia. Dalam hal ini, Muhammadiyah ditunjuk sebagai pihak yang menyalurkan bantuan kepada para korban banjir di Medan.


Polemik muncul ketika Wali Kota Medan sebelumnya menyatakan bahwa bantuan tersebut dikembalikan ke UEA karena belum ada keputusan dari pemerintah pusat. Pernyataan ini memunculkan kebingungan di tengah masyarakat, terlebih di saat para korban bencana sangat membutuhkan bantuan logistik itu, kok malah dikembalikan. Situasi itu menunjukkan adanya miskomunikasi dan perbedaan pemahaman antarlevel pemerintahan mengenai mekanisme penerimaan bantuan luar negeri.


Kasus ini juga menyoroti pentingnya kejelasan regulasi dan koordinasi dalam penanganan bencana. Pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri telah mengingatkan bahwa bantuan G2G wajib melalui mekanisme nasional, sementara bantuan dari NGO diperbolehkan selama disalurkan melalui lembaga yang sah di dalam negeri. Ketidaktepatan dalam memahami aturan ini berpotensi memperlambat distribusi bantuan dan menimbulkan polemik yang tidak perlu.


Di sisi lain, keterlibatan Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat sipil menunjukkan peran strategis NGO dalam penanganan bencana di Indonesia. Dengan jaringan yang luas dan pengalaman panjang dalam kegiatan kemanusiaan, Muhammadiyah mampu menjadi jembatan antara bantuan internasional dan masyarakat yang membutuhkan. Hal ini menegaskan bahwa kolaborasi antara pemerintah dan organisasi nonpemerintah sangat penting, terutama dalam situasi darurat.


Dari peristiwa ini, dapat diambil pelajaran bahwa penanganan bantuan kemanusiaan tidak hanya soal niat baik, tetapi juga soal tata kelola, komunikasi, dan pemahaman regulasi. Di tengah bencana, kecepatan dan kejelasan menjadi kunci. Polemik administratif seharusnya tidak menghambat bantuan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat terdampak. Pada akhirnya, tujuan utama dari setiap bantuan adalah meringankan beban korban bencana, dan semua pihak seharusnya bergerak dalam semangat tersebut. (Kompas/BS)*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here